Tuesday, 23 August 2016

Tradisi Sang Orator

Bung Karno sudah sangat dikenal dengan kemampuan orasinya. Ia memang jago di atas podium. Kalimat-kalimatnya yang bertenaga mampu membuai pendengarnya sehingga mereka rela tinggal berjam-jam di bawah matahari untuk mendengarkan suara Bung Karno.
Apa resep yang dipakai Bung Karno sehingga mampu membius orang melalui kata demi kata yang meluncur lewat lidahnya itu? Apa yang harus disiapkan pengawal sebelum Bung Karno berpidato?
Mangil menuturkan semuanya melalui Kesaksian tentang Bung Karno 1945–1967, sebuah buku yang ia tulis.
Berikut kisah lengkapnya.
SIAPA PUN tahu Bung Karno pandai sekali berpidato. Setiap kali ia berpidato, setiap kali itu pula pendengarnya terhipnotis dan tidak akan meninggalkan tempat sampai kalimat terakhir. Melalui pidato-pidatonya ini, Bung Karno melecut semangat rakyat, menimbulkan rasa optimisme, dan menaikkan harga diri sebagai suatu bangsa.
Begitu pandai Bung Karno berpidato sehingga orang pun rela menghentikan
pekerjaan yang sedang dilakukan untuk mendengarkan pidato Bung Karno, baik secara langsung maupun lewat pesawat radio. Di sebuah desa terpencil di Jawa Tengah pernah terjadi suatu pesta pernikahan tertunda gara-gara para tamu lebih tertarik mendengarkan pidato Bung Karno yang berapi-api itu.
Mangil menulis, Bung Karno memang memiliki bakat dan keterampilan luar biasa dalam berpidato. Kebetulan juga, Tuhan memberikan postur tubuh gagah kepada Bung Karno. Selain itu, Tuhan menganugerahi otak encer kepada dia. Kombinasi ini membuat pidato Bung Karno selalu menarik. Orang tak akan bosan meski mendengarkan pidato Bung Karno dalam waktu yang lama.
Keahlian Bung Karno berpidato ini juga diakui masyarakat internasional. Dengan gayanya yang gagah dan penuh gaya, Bung Karno membuat semua orang yang hadir dalam Sidang Umum PBB di New York terkesima. Tak hanya itu, dalam setiap kunjungan ke luar negeri, pidato Bung Karno selalu menarik perhatian.
Mungkin tak banyak yang tahu kalau Bung Karno mempunyai kebiasaan sebelum berpidato. Apa itu? Minum air putih. Bung Karno selalu minum air putih yang sudah dingin. Bukan dikasih air es, es, atau air yang dimasukkan di dalam lemari es. Tetapi, air putih yang dingin tanpa es. Air putih ini harus dimasak lebih dulu, alias tidak diambil langsung dari air sumur atau air leding.
Karena kebiasaan ini, Bung Karno pernah membuat para pengawal kalang kabut mencarikan air putih dingin. Ceritanya begini. Suatu ketika, Bung Karno meninjau daerah Aceh. Dalam perjalanan dengan mobil, di tengah perjalanan, Bung Karno didaulat rakyat Aceh untuk memberikan wejangan. Seperti biasa, sebelum berpidato, Bung Karno meminta air minum. Tentu saja, orang berebut ingin memberikan air minum kepada Bung Karno. ’’Saya minta air minum. Bukan air teh, kopi, atau bir.
Bapak hanya minta air putih yang sudah dimasak dan sudah dingin tanpa diberi es,’’ kata Bung Karno.
Mangil sendiri kalang kabut mencari air tersebut. Biasanya, para pengawal memang selalu menyediakan air minum dingin ini di tempat-tempat di mana Bung Karno akan berpidato atau memberikan wejangan. Tetapi, ini dalam perjalanan. Untunglah, salah seorang polisi negara yang sedang bertugas membawa air minum dingin ini. Dengan sedikit membungkukkan badan dan dengan senjata disandangkan ke badan, dia membukaveldfles (tempat air minum, Red) yang ia bawa dan berkata kepada Bung Karno, ’’Inilah air minum yang Bapak minta.’’ Lantas, Bung Karno meminjam gelas penduduk yang kebetulan rumahnya dekat dengan rombongan presiden berhenti. Setelah minum, barulah Bung Karno memulai pidato.
Karena pengalaman ini, Mangil di kemudian hari membentuk tim khusus yang harus menyediakan keperluan pribadi Bung Karno. Misalnya, selalu membawa minuman yang akan diteguk Bung Karno sewaktu-waktu. Tim ini beranggota para polisi pengawal pribadi dan dipimpin Sogol Djauhari. Tim ini selalu mengawasi makanan dan minuman Bung Karno di mana saja dan kapan saja. Bila Bung Karno bepergian jauh, dalam perjalanan ke luar kota atau daerah, anggota polisi pengawal pribadi yang duduk di dalam mobil harus selalu membawa perlengkapan yang selalu diperlukan presiden sewaktu-waktu. Misalnya, topi, payung, mantel, dan kacamata. Perlengkapan-perlengkapan ini sama sekali tidak boleh dilupakan.
Pada suatu ketika, Bung Karno dan rombongan dengan mengendarai mobil menuju lapangan terbang Kemayoran. Rencananya, Bung Karno akan berangkat ke Bali. Yang kebetulan mengawal Bung Karno di dalam mobil adalah Sardi. Ketika mobil yang membawa presiden berada di dekat rel kereta api dekat istana, Bung Karno minta kacamata untuk membaca surat. Ternyata Sardi lalai. Dia tidak memeriksa perlengkapan Bung Karno. ’’Godverdomme. Saya tidak akan berangkat kalau kacamata Bapak tidak ada,’’ kata Bung Karno dengan nada tinggi. Bung Karno marah. Sardi tampak kebingungan. Dia terus mencari-cari kacamata di sekitar tempat duduk depan. Sesampai di Kemayoran, Sardi menghampiri Tukimin, salah seorang pegawai kepresidenan. Tampaknya, Tukimin tahu betul apa yang dicari Sardi. Buktinya, ia mengacungkan kacamata yang ia bawa sambil tertawa. Tukimin inilah yang membawa kacamata Bung Karno yang tertinggal di istana. Setelah mengucapkan terima kasih, Sardi berlari lagi ke arah Bung Karno dan menyerahkan kacamata yang ia bawa. ’’Terima kasih, Di,’’ kata Bung Karno.
Ketika Bung Karno kembali dari Bali, Sardi berkata kepada Mangil, ’’Wah, seumur-umur belum pernah saya di-godverdomme oleh orang lain. Sampai beberapa hari habis dimarahi Bapak, saya tidak enak makan,’’ kata Sardi sambil tersenyum.
Dalam acara resmi, rapat resmi, rapat umum atau rapat raksasa, ketika Bung Karno akan berpidato, mikrofon dan pengeras suara harus selalu baik. Mangil juga membentuk tim khusus yang bertugas mengurusi peralatan audio ini, dari alat-alat sampai perekaman. Tim ini dipimpin Ali Slamet. Ia dibantu Soetimin. Dua orang inilah yang selalu melayani Bung Karno dalam urusan pidato. Ke mana saja Bung Karno pergi di Indonesia, kedua orang tersebut selalu ikut dengan membawa semua perlengkapan Bung Karno.
Sebenarnya resep apa yang dipakai Bung Karno sehingga piawai berpidato?
Mangil menulis, resep yang pertama adalah:
Pertama: Bung Karno menguasai betul sejarah Indonesia.
Kedua, Bung Karno memakai bahasa yang mudah dimengerti rakyat.
Ketiga, Bung Karno pandai berimprovisasi.
Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh Bung Karno dikembangkan sendiri dengan kreatif. Tak seperti para pemimpin nasional lain ketika itu. Mereka ini lebih banyak menguasai sejarah asing. ’’Juga, cara berpikir mereka kebanyakan selalu textbook thinking,’’ kata Bung Karno.
Selain orator ulung, Bung Karno ini penggembleng yang baik. Ketika berada di Yogyakarta, bertempat di belakang istana, secara periodik, Bung Karno menggembleng para wanita. Materi yang diajarkan adalah kursus politik. Pesertanya terdiri atas para wanita, remaja putri, pelajar putri, dan mahasiswi. Kursus ini selalu dibanjiri peserta. Setiap Bung Karno selesai memberikan pelajaran, bahannya selalu ditulis, kemudian dibundel jadi satu oleh Mualif Nasution dan Gunadi. Keduanya adalah pegawai Sekretariat Presiden. Hasil bundel ini lalu dibukukan dan diberi judul Sarinah.
Sarinah adalah nama wanita yang mengasuh Bung Karno ketika kecil. Wanita inilah yang memberikan petunjuk-petunjuk yang sangat berguna bagi Bung Karno. Sarinah adalah inspirasi bagi Bung Karno. Karena diabadikan dalam kumpulan tulisan itu, nama Sarinah pun menjadi terkenal. Tak hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri.

Monday, 22 August 2016

Dibalik Kebesaran Soekarno

“AKU ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah rakyat.” Pengakuan ini meluncur dari Soekarno, Presiden RI pertama, dalam karyanya Menggali Api Pancasila. Sadar atau tidak sadar ia mengucapkannya, terkesan ada kejujuran di sana. Soekarno, sang orator ulung dan penulis piawai, memang selalu membutuhkan dukungan orang lain. Ia tak tahan kesepian dan tak suka tempat tertutup. Dari pidato dan tulisannya yang memperlihatkan betapa mahirnya ia menggunakan bahasa, tersirat sebuah kebutuhan untuk selalu mendapat dukungan dari orang lain.
Gejala berbahasa Soekarno, Bung Karno, merupakan fenomena langka yang mengundang kagum banyak orang. Wajar kalau muncul pertanyaan “Apakah kemahiran Soekarno menggunakan bahasa dengan segala ma-cam gayanya berhubungan dengan kepribadiannya?” Analisis terhadap kepribadian Soekarno melalui autobiografi, karangan-karangannya, dan buku-buku sejarah yang memuat sepak terjangnya dapat membantu memberikan jawaban. Dengan menggunakan pendekatan teori psi-kologi individual dari Alfred Adler (Hall dan Lindzey, 1985) dapat dipahami bagaimana Proklamator Kemerdekaan RI ini bisa menjadi pribadi yang berapi-api, pembakar semangat banyak orang, gagah dan teguh sekaligus sensitif, takut pada kesendirian, dan sangat membutuhkan dukungan sosial.
Pribadi yang kesepian
Di akhir masa kekuasaannya, Soekarno sering merasa kesepian. Dalam autobiografinya yang disusun oleh Cindy Adams, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat, ia menceritakannya.
“Aku tak tidur selama enam tahun. Aku tak dapat tidur barang sekejap. Kadang-kadang, di larut malam, aku menelepon seseorang yang dekat denganku seperti misalnya Subandrio, Wakil Perdana Menteri Satu dan kataku, ‘Bandrio datanglah ke tempat saya, temani saya, ceritakan padaku sesuatu yang ganjil, ceritakanlah suatu lelucon, berceritalah tentang apa saja asal jangan mengenai politik. Dan kalau saya tertidur, maafkanlah.’… Untuk pertama kali dalam hidupku aku mulai makan obat tidur. Aku lelah. Terlalu lelah.” (Adams, 2000:3)
“Ditinjau secara keseluruhan maka jabatan presiden tak ubahnya seperti suatu pengasingan yang terpencil… Seringkali pikiran oranglah yang berubah-ubah, bukan pikiranmu… Mereka turut menciptakan pulau kesepian ini di sekelilingmu.” (Adams, 2000:14)
Apa yang ditampilkan Soekarno dapat dilihat sebagai sindrom orang terkenal. Ia diklaim milik rakyat Indonesia. Walhasil, ia tak bisa lagi bebas bepergian sendiri menikmati kesenangannya (Adams, 2000:12). Namun, melihat ke masa mudanya, kita juga menemukan tanda-tanda kesepian di sana. Semasa sekolah di Hogere Burger School (HBS), ia menekan kesendiriannya dengan berkubang dalam buku-buku, sebuah kompensasi dari kemiskinan yang dialaminya. Kebiasaan ini berlanjut hingga masa ia kuliah di Bandung. Soekarno terkenal sebagai pemuda yang pendiam dan suka menarik diri (Adams, 2000:89-91).
Indikasi kesepian juga kita dapatkan dalam ceritanya tentang penjara. Malam-malam di penjara menyiksanya dengan ruang yang sempit dan tertutup. Dinding-dinding kamar tahanannya terlalu menjepit dirinya. Lalu muncullah perasaan badannya yang membesar hingga makin terjepit dalam ruang tahanan itu.
“Yang paling menekan perasaan dalam seluruh penderitaan itu adalah pengurungan. Seringkali jauh tengah malam aku merasa seperti dilak rapat dalam kotak kecil berdinding batu yang begitu sempit, sehingga kalau aku merentangkan tangan, aku dapat menyentuh kedua belah dindingnya. Rasanya aku tak bisa bernafas. Kupikir lebih baik aku mati. Suatu perasaan mencekam diriku, jauh sama sekali dari keadaan normal.” (Adams, 2000:135)
Lebih jauh lagi ke masa kecilnya, Soekarno sering merasa sedih karena hidup dalam kemelaratan sehingga tak dapat menikmati benda-benda yang diidamkannya. Di saat anak-anak lain dapat menikmati makanan jajanan dan mainan, Karno hanya dapat menyaksikan mereka dengan perasaan sedih. Lalu ia menangis mengungkapkan ketidakpuasan sekaligus ketakberdayaannya. Selain itu, di lingkungan sekolah ia harus berhadapan dengan anak-anak Belanda yang sudah terbiasa memandang remeh pribumi.
Pengalaman yang cukup traumatis terjadi di masa lima tahun pertama. Soekarno pernah berturut-turut menderita penyakit seperti tifus, disentri, dan malaria yang berujung pada penggantian namanya dari Kusno menjadi Karno, nama seorang tokoh pewayangan putra Kunti yang berpihak pada Kurawa demi balas budi dan kewajiban membela negara yang menghidupinya. Sakit yang melemah-kan secara fisik dapat berpengaruh terhadap kondisi psikis. Sangat mungkin muncul perasaan lemah, tak berdaya, dan terasing pada diri Soekarno kecil. Untungnya dilakukan penggantian nama disertai penjelasan dari ayahnya tentang makna pergantian nama yang memberinya kebanggaan karena menyandang nama pejuang besar.
Pengalaman sakit-sakitan dan hidup dalam kemiskinan tampak membekas kuat dalam ingatan Soekarno. Di masa tuanya, ia menafsirkan kegemarannya bersenang-senang sebagai kompensasi dari masa lalunya yang dirampas kemiskinan (Adams, 2000).
Ada semacam dendam terhadap kemiskinan dan ketidakberdayaan yang telah berkilat dalam dirinya. Dendam yang kemudian menggerakkannya pada semangat perjuangan kemerdekaan dan keinginan belajar yang tinggi.
Mitos-mitos dari masa kecil
Sejak kecil, Soekarno sudah menyimpan mitos tentang diri-nya sebagai pejuang besar dan pembaru bagi bangsanya. Ibunya, Ida Nyoman Rai, menceritakan makna kelahiran di waktu fajar.
“Kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, engkau akan menjadi pemimpin dari rakyat kita, karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar mulai menyingsing. Kita orang Jawa mempunyai suatu kepercayaan, bahwa orang yang dilahirkan di saat matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih dulu. Jangan lupakan itu, jangan sekali-kali kau lupakan, nak, bahwa engkau ini putra dari sang fajar.” (Adams, 2000:24)
Tanggal kelahiran Soekarno pun dipandangnya sebagai pertanda nasib baik.
“Hari lahirku ditandai oleh angka serba enam. Tanggal enam bulan enam. Adalah menjadi nasibku yang paling baik untuk dilahirkan dengan bintang Gemini, lambang kekembaran. Dan memang itulah aku sesungguhnya. Dua sifat yang berlawanan.” (Adams, 2000:25)
Soekarno melihat dirinya yang terdiri dari dua sifat yang berlawanan sebagai satu kemungkinan pertanda nasibnya di dunia politik.
“Karena aku terdiri dari dua belahan, aku dapat memperlihatkan segala rupa, aku dapat mengerti segala pihak, aku memimpin semua orang. Boleh jadi ini secara kebetulan bersamaan. Boleh jadi juga pertanda lain. Akan tetapi kedua belahan dari watakku itu menjadikanku seseorang yang merangkul semua-nya.”
Kejadian lain yang dianggap pertanda nasib oleh Soekarno adalah meletusnya Gunung Kelud saat ia lahir. Tentang ini ia menyatakan, “Orang yang percaya kepada takhayul meramalkan, ‘Ini adalah penyambutan terhadap bayi Soekarno,” Selain itu, penjelasan tentang penggantian nama Kusno menjadi Karno pun memberi satu mitos lagi dalam diri Soekarno kecil tentang dirinya sebagai calon pejuang dan pahlawan bangsanya.
Kepercayaan akan pertanda-pertanda yang muncul di hari kelahiran Soekarno memberi semacam gambaran masa depan dalam benak Soekarno sejak masa kecilnya. Dalam kerangka pemikiran Adler, gambaran masa depan itu disebut fictional final goals (tujuan akhir fiktif). Meskipun fiktif (tak didasari kenyataan), tetapi gambaran masa depan ini berperan menggerakkan kepribadian manusia untuk mencapai kondisi yang tertuang di dalamnya (Adler, 1930:400).
Riwayat hidup Soekarno memperlihatkan bagaimana gambaran dirinya di masa depan dan persepsinya tentang Indonesia menggerakkannya mencapai kemerdekaan Indonesia.
Bombasme bahasa dan keinginan merengkuh massa
Setelah menjadi presiden, Soekarno berpidato tiap tanggal 17 Agustus. Di sana dapat kita temukan kalimat-kalimat muluk, penggunaan perumpamaan elemen-elemen alam yang megah dan hiperbolisme bahasa. Dari tahun ke tahun pidatonya makin gegap-gempita, mencoba membakar semangat massa pendengarnya dengan retorika kata-kata muluk.
Dari kalimat-kalimat itu dapat dibayangkan seperti apakah kondisi psikis orang yang menggunakannya. Dalam pidatonya tanggal 17 Agustus 1949, contohnya, ia berseru, “Kita belum hidup dalam sinar bulan purnama, kita masih hidup di masa pancaroba, tetaplah bersemangat elang rajawali.” Di sini ada indikasi ia menempatkan diri sebagai orang yang bersemangat elang rajawali sehingga memiliki hak dan kewajiban untuk menyerukan pada rakyatnya agar memiliki semangat yang sama dengannya.
Seruan-seruan yang sering dilontarkan dalam pidatonya adalah tentang perjuangan yang harus dilakukan tak henti-henti.
“Kemerdekaan tidak menyudahi soal-soal, kemerdekaan malah membangun soal-soal, tetapi kemerdekaan juga memberi jalan untuk memecahkan soal-soal itu.”
(Pidato 17 Agustus 1948)
“Tidak seorang yang menghitung-hitung: Berapa untung yang kudapat nanti dari Republik ini, jikalau aku berjuang dan berkorban untuk mempertahankannya.”
(Pidato 17 Agustus 1956)
“Karena itu segenap jiwa ragaku berseru kepada bangsaku Indonesia: “Terlepas dari perbedaan apa pun, jagalah Persatuan, jagalah Kesatuan, jagalah Keutuhan! Kita sekalian adalah machluk Allah! Dalam menginjak waktu yang akan datang, kita ini se-olah-olah adalah buta.”
(Pidato 17 Agustus 1966)
Selain ajakan untuk berjuang, tersirat juga dari petikan-petikan tersebut bahwa Soekarno memandang dirinya sebagai orang yang terus-menerus berjuang mengisi kemerdekaan. Pengaruh fictional final goals-nya terlihat jelas, Soekarno yang sejak kecil membayangkan diri menjadi pemimpin bangsanya dengan kepercayaan tinggi menempatkan dirinya sebagai guru bagi rakyat.
“Adakanlah ko-ordinasi, ada-kanlah simponi yang seharmonis-harmonisnya antara kepentingan sendiri dan kepentingan umum, dan janganlah kepentingan sendiri itu dimenangkan diatas kepentingan umum.”
(Pidato 17 Agustus 1951)
“Kembali kepada jiwa Proklamasi …. kembali kepada sari-intinya yang sejati, yaitu pertama jiwa Merdeka Nasional… kedua jiwa ichlas… ketiga jiwa persatuan… keempat jiwa pembangunan.”
(Pidato 17 Agustus 1952)
“Dalam pidatoku “Berilah isi kepada kehidupanmu” kutegaskan: “Sekali kita berani bertindak revolusioner, tetap kita harus berani bertindak revolusioner…. jangan ragu-ragu, jangan mandek setengah jalan…” kita adalah “fighting nation” yang tidak mengenal “journey’s-end”
(Pidato 17 Agustus 1956)
Keinginannya untuk merengkuh massa sebanyak-banyaknya tampak dari kesenangannya tampil di depan massa. Bombasme-kecenderungan yang kuat untuk menggunakan kalimat-kalimat muluk dan ide-ide besar yang tidak disertai oleh tindakan konkret-praktis untuk mencapainya yang ditampilkannya dapat diartikan sebagai usaha memikat hati rakyat. Pidato-pidatonya banyak mengandung gaya hiperbola dan metafora yang berlebihan seperti “Laksana Malaikat yang menyerbu dari langit”, “adakanlah simfoni yang seharmonis-harmonisnya antara kepentingan sendiri dan kepentingan umum”, “Bangsa yang gila kemuktian, satu bangsa yang berkarat”, dan “memindahkan Gunung Semeru atau Gunung Kinibalu sekalipun.” Simak kutipan-kutipan berikut bagaimana gaya bahasa yang digunakan untuk memikat massa.
“Janganlah melihat ke masa depan dengan Mata Buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca mata benggalanya dari pada masa yang akan datang.”
(Pidato 17 Agustus 1966)
“Atau hendakkah kamu menjadi bangsa yang ngglenggem”? Bangsa yang ‘zelfgenoegzaam’? Bangsa yang angler memeteti burung perkutut dan minum teh nastelgi? Bangsa yang demikian itu pasti hancur lebur terhimpit dalam desak mendesaknya bangsa-bangsa lain yang berebut rebutan hidup!”
(Pidato 17 Agustus 1960)
Kita mau menjadi satu Bangsa yang bebas Merdeka, berdaulat penuh, bermasyarakat adil makmur, satu Bangsa Besar yang Hanyakrawati, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kertaraharja, otot kawat balung wesi, ora tedas tapak palune pande, ora tedas gurindo.
(Pidato 17 Agustus 1963)
Gaya menggurui dari tahun ke tahun makin jelas terlihat dalam pidato Soekarno. Ia makin sering membuka pidatonya dengan kalimat “Saya akan memberi kursus tentang”. Pengaruh gambaran masa kecilnya tentang Soekarno sebagai pembuka fajar baru bagi bangsanya makin tegas. Ia tak menyadari bahwa gambaran itu bersifat fiktif, tak didasari kenyataan. Soekarno melambung tinggi dengan ide-idenya dan cenderung mengabaikan kondisi konkret bangsanya terutama kondisi ekonomi.

Kedekatan Arif Dan Bung Karno

Menopang lahirnya sebuah Republik dengan darah dan peluru mungkin sudah terlalu banyak kita dengar. Tapi berjuang dibalik stir kemudi sebuah taksi layak kita pertanyakan, karena dalam nalar sehat kita akan nampak jurang yang cukup jauh antara gempar Revolusi dan seorang sopir taksi.
Logika sehat yang telah hancur ataukah Arif sosok sopir taksi telah merubah sejarah, tapi setidaknya tulisan kecil ini dapat memberikan gambaran tentang Arif si sopir taksi yang memiliki hubungan dengan Bung Karno
Warna-warni bunganya revolusi. Aneka kisah kembangnya sejarah. Tak terkecuali sebait kisah, yang terjalin antara Bung Karno dan seorang sopir taksi bernama Arif.
Masa-masa tahun 1930-an, Bung Karno sangat intens berkomunikasi dengan tokoh pergerakan Betawi, M. Husni Thamrin yang tinggal di Gang Kenari, Kramat, Jakarta Pusat. Setiap minggu, Bung Karno pasti ke Jakarta, menemui Husni Thamrin. Kedatangan Bung Karno selalu menggunakan jasa kereta api, turun di stasiun Gambir.
Setelah keluar peron, Bung Karno akan menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari-cari Arif, sopir taksi langganannya. Arif sendiri tahu. Tak jarang ia justru jalan mengendap-endap, melingkar, menjauhi pandangan Bung Karno, tetapi arahnya mendekat dari belakang. Ketika sudah dekat, barulah ia tepuk pundak Bung Karno dan menyapa, “”Ngelamun Bung!”
Bung Karno pasti berjingkat kaget dan tertawa lebar, “Oh… kau Rif. Saya cari kamu sedari tadi,” tutur Bung Karno, yang digambarkan Arif sebagai pemuda jangkung berparas tampan, selalu mengenakan peci.
“Mau kemana Bung?” tanya Arif, sebuah pertanyaan basi, dilanjut pertanyaan susulan yang lebih basi lagi, “Ke Gang Kenari?”
“Iya dong, mau ke mana lagi…,” ujar Bung Karno seraya berjalan menuju taksi Arif di pelataran parkir.
Setelah duduk, Bung Karno berkata, “Eh… Rif, tetapi kali ini uang saya pas-pasan, bagaimana yaaa…?”
“Soal uang pas-pasan tidak perlu dipikir Bung,” kata Arif. Dalam hati Arif sangat bangga kepada pemuda yang dikenalnya sebagai tokoh pergerakan. Arif sangat senang mendengar cerita-cerita pergerakan, cita-cita kebangsaan, dan obrolan-obrolan ringan dari Bung Karno, setiap berada di dalam kabin taksinya.
Malah tak jarang, Arif yang ketika itu berusia 20-tahun merasa rendah diri, mengingat orang-orang seperti Bung Karno, Hunsi Thamrin sibuk membela kaumnya dari penjajahan Belanda, dia enak-enak mencari rezeki. Karena itu, ia merasa sudah menjadi bagian dari revolusi, meski sekadar mengantar Bung Karno ke Gang Kenari, balik ke Gambir, dengan tak jarang rela tidak dibayar, karena si Bung sedang tipis dompetnya.
Bagi Arif, apa yang dilakukan, sungguh tak berarti dibanding sepak terjang orang-orang seperti Bung Karno, yang tidak pernah berpikir untuk dirinya, bahkan rela berhadapan dengan Belanda, rela pula dipenjara bertahun-tahun. Kisah-kisah Bung Karno tentang marhaenisme, kapitalisme, dan kekejaman kolonialisme, benar-benar telah merasuk dalam peredaran darah merah Arif, si sopir taksi.
Kalimat Bung Karno yang melekat antara lain, “Arif, kita harus sadar bahwa kita ini bukan bangsa tempe, tetapi masih cucu elang rajawali. Coba saja siapa yang tidak kenal tokoh Gajah Mada yang dapat menyatukan Majapahit. Bukankah pada waktu itu negara Majapahit berpengaruh sampai luar negeri? Nah, di sinilah Arif, kita harus sadar sesadar-sadarnya, dan ketahuilah tidak seorangpun dapat mengubah nasib bangsanya kalau bangsa itu sendiri tidak mau berusaha, tidak mau bangkit, mengubahnya sendiri.”
Bagaimana dengan utang-utang Bung Karno kepada Arif? “Ah, Bung Karno itu sangat baik. Kalau dia ada uang, langsung dibayar semua”
Kisah berlanjut hingga ke suatu hari, Arif mengantar Bung Karno ke Gang Kenari. Sebelum turun, Bung Karno berpesan supaya besok pagi dijemput di Gang Kenari, menuju Gambir, selanjutnya kembali ke Bandung. “Besok jemputlah di tempat ini. Jangan lupa Rif, besok pun masih ngutang lagi yaa” kata Bung Karno sambil menepuk pundak Arif.
Arif menyahut, “Bung, jangan berkata begitu terus, bikin malu saya saja… sampai besok pagi bung!”
Keesokan harinya, tanggal 1 Agustus 1933, Arif meninggalkan rumah, mengarahkan taksinya ke Gang Kenari, hendak menjemput Bung Karno. Betapa terkejut Arif, sesampai di Gang Kenari didapat berita bahwa tadi malam Belanda menangkap Bung Karno. Arif menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi kemudi sambil bergumam, “Nasib pejuang. Kemarin masih bercanda sama saya, hari ini sudah meringkuk di penjara.”
Kisah selanjutnya tentang Bung Karno didapat Arif dari para pejuang yang lain, serta dari suratkabar. Arif tetap mengikuti berita tentang pembuangan Bung Karno ke Ende, disusul pembuangan ke Bengkulu, hingga akhirnya Jepang masuk Indonesia tahun 1942. Arif tak pernah lagi berjumpa dengan Bung Karno.
Tiba-tiba pada era pendudukan Jepang, ia kedatangan tamu orang yang sangat dikenalnya… “Arif… apa kabarnya,” sapa tamu itu ramah. Tamu yang dimaksud, tak lain dan tak bukan adalah tokoh pergerakan yang kesohor: Bung Karno. Ia datang bertamu malam-malam ke rumah dengan dua tujuan. Pertama, melunasi semua utang ongkos taksi terdahulu. Kedua, menawarinya pekerjaan menjadi sopir pribadi Bung Karno.
Kisah selanjutnya, Arif selalu bersama Bung Karno. Ia merasa terhormat, Bung Karno tidak melupakan jasa kecil orang kecil seperti Arif, sopir taksi bagi jalannya revolusi. Tercatat, Arif mengabdi sebagai pengemudi pribadi Bung Karno hingga tahun 1960. Saat Bung Karno bertanya, apa keinginan Arif setelah berhenti bekerja? Spontan Arif menyatakan keinginannya pergi ke tanah suci.
Bung Karno pun mengabulkan Arif pergi haji.

Aku dan Onassis

x
Neoliberal, kata-kata ini banyak kita dengar saat berlangsung masa kampanye Pilpres 2009. Kata-kata ini sekan tercipta untuk menghancur leburkan Pasangan Capres dan Cawapres SBY-Budiono.
Yang menjadi pertanyan adalah, sejak kapan bangsa yang baru berumur 64 tahun mengenal apa yang disebut Neoliberal.
Menjawab pertanyaan ini tiada salah kiranya kalau kita mundur sejenak menuju Indonesia tahun 1964, bulan Oktober. Dalam kunjungan kerja ke Roma, Bung Karno tiba-tiba saja diundang oleh miliarder kapitalis Aristoteles Onasis ke kapalnya yang mewah, “Christina”. Hingga hari ini tak pernah terungkap, siapa pemrakarsa pertemuan Presiden Republik Indonesia itu dengan Onasis, mengingat keduanya tidak pernah menjalin persahabatan sebelumnya.
Hanya sebuah epekulasi yang mengatakan, besar kemungkinan, kalangan seniman (pelukis, bintang film) yang menjembatani pertemuan itu. Mengingat dalam hampir setiap kunjungannya ke Roma, Bung Karno selalu meluangkan waktu bertemu para seniman setempat.
Singkatnya, kapal mewah “Christina” berlajar menuju Laut Tengah. Onasis didampingi Maria Callas, bintang opera bersuara emas yang cantik jelita. Sekilas, pertemuan itu berlangsung sangat akrab, laiknya perjumpaan dua karib lama. Di atas kapal itu pula terjadi serangkaian pertemuan yang sangat produktif, mulai dari jamuan makan sampai pertemuan empat mata Bung Karno – Onasis.
“Saya tidak mengira, mereka (Onasis dan Callas) mengetahui begitu banyak tentang Indonesia dan diri saya,” ujar Bung Karno tak lama setelah pertemuan usai.
Tentang materi pertemuan, Bung Karno menyinggung sekilas, bahwa intinya, Onasis menjajagi kemungkinan menanamkan modalnya di Indonesia dalam berbagai bidang, utamanya pertambangan. Onasis bahkan siap menanamkan uangnya bermiliar-miliar dolar AS di bumi Indonesia. Terlebih, dalam Undang Undang Penanaman Modal Asing tahun 1958, cukup banyak peluang asing berinvestasi di bumi Indonesia.
Dalam pertemuan itu, Onasis terang-terangan menghendaki adanya jaminan dari Presiden Sukarno bahwa perusahaan dan modalnya tidak akan dinasionalisasikan dalam jangka 35 tahun. Syarat itulah yang tidak serta merta diterima Bung Karno. Sebab, bunyi Undang Undang memang membatasi semua izin usaha sempai 10 – 15 tahun, dengan catatan dapat diperpanjang hanya jika perusahaan itu menguntungkan negara dan rakyat Indonesia. “Jangan sampai modal asing atau modal domestik swasta menduduki posisi yang dapat menentukan perekonomian kita,” tandas Bung Karno.
Sikap Bung Karno jelas, kemandirian ekonomi harus menjadi tiang utama bangsa ini. Tidak heran jika Bung Karno banyak menunda izin penanaman modal asing, sebelum jelas gambaran untung dan ruginya dalam kaitan kelestarian alam, perluasan daerah pertanian, transmigrasi, dan sebagainya.
Hingga titik paragraf di atas, tegas tersimpulkan, Bung Karno tidak anti modal asing, tetapi setiap investasi asing, harus menguntungkan negara dan rakyat Indonesia. Jika investasi asing justru mengakibatkan ketergantungan serta hanya memperkaya sekelompok kaum kapitalis, Bung Karno akan tegas menolak.

Dibalik INDONESIA MENGGUGAT

“INDONESIA MENGGUGAT” Kata-kata ini mungkin terlalu sering kita dengar. Kata yang terangkai dengan begitu heroik. Tapi benarkah kata-kata tersebut sesuatu yang heroic ? Apa bila benar maka di mana letak keherikannya ?
Pembelaan Bung Karno yang diberinya judul “INDONESIA MENGGUGAT” adalah salah satu masterpiece pemikiran Bung Karno. Butir-butir pemikiran yang ia tuang dalam teks pembelaan itu, benar-benar merupakan hasil kontemplasi seorang pemikir muda, dalam ruang tahanan Belanda selama delapan bulan.
Persidangan yang bersejarah itu sendiri berlangsung 18 Agustus 1930, bertempat di Jl. Landraad Bandung. Tuduhan kepada Bung Karno cukup serius, yakni pelanggaran terhadap Undang Undang Hukum Pidana, pasal 161, 171, dan 153 yang dikenal sebagai Haatzaai artikelen, sebuah pasal yang sangat lentur. Pasal yang acap digunakan pihak penguasa terhadap “musuh politik”, yang sebenarnya merupakan delik penyebaran rasa benci.
Sukarno, bersama tiga rekannya: Gatot Mangkupraja, Maskun, dan Supriadinata dituduh mengambil bagian dalam suatu organisasi yang mempunyai tujuan menjalankan kejahatan, di samping usaha yang mengarah pada penggulingan kekuasaan Hindia Belanda. Adapun organisasi yang dimaksud adalah Perserikatan Nasional Indonesia, yang didirikan pada tanggal 27 Juli 1927. Oranigasi itulah yang kemudian menjadi cikal-bakal lahirnya Partai Nasional Indonesia (PNI).
Persidangan berlangsung panjang, sejak bulan Agustus hingga Desember 1930. Dalam keseluruhan rangkaian persidangan, pihak Hindia Belanda menampilkan saksi utama untuk penuntut umum, Komisaris Polisi Albreghs. Tapi kesemua keterangan, sama sekali gagal mengarahkan kepada kesimpulan adanya subversi komunis. Upaya penuntut umum untuk menunjukkan adanya hubungan langsung antara PNI dan Perhimpunan Indonesia di Belanda, yang mengarahkan adanya subversi komunis.
Semua tudingan itu berhasil ditepis Sukarno, sebalinya Sukarno berhasil membuktikan independensi PNI. Dalam proses persidangan, Bung Karno dkk didampingi pengacara Suyudi SH, Ketua PNI Cabang Jawa Tengah, tuan rumah saat Sukarno ditangkap, Mr Sartono, seorang rekan dari Algemeene Studieclub yang tinggal di Jakarta dan menjadi Wakil Ketua yang mengurus soal keuangan partai, Mr Sasromulyono yang tinggal di Bandung. Ketiganya melakukan tugasnya tanpa dibayar, bahkan rela mengongkosi seuruh pengeluaran.
Sekalpun begitu, Sukarno merasa perlu menyiapkan pembelaannya sendiri. Nah, kumpulan pembelaan itulah yang kemudian dirangkum dalam buku INDONESIA MENGGUGAT. Buku itu telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing. Sampai sekarang, INDONESIA MENGGUGAT menjadi dokumen sejarah politik Indonesia.

Detik-detik Menuju Istana Bogor

Dalam perjalanan hidup Bung Karno, peristiwa penyerahan surat perintah ke Soeharto, yang kemudian menggantikan Bung Karno menjadi presiden, mungkin bisa dikatakan sebagai momen yang menentukan. Sebelum penyarahan surat ini, ternyata suasana Jakarta tegang dan mencekam.
Pada 10 Maret malam, Bung Karno terpaksa diungsikan ke Istana Bogor karena alasan keamanan. Bagaimana Bung Karno melewati hari-hari yang menegangkan itu? Berikut lanjutan kesaksian Mangil seperti yang tertulis dalam bukunya berjudul Kesaksian tentang Bung Karno 1945–1967.
JAKARTA, awal Maret 1966. Hari-hari terakhir ini banyak demonstrasi. Tak jarang demonstrasi ini menuju ke Istana Bung Karno. Pada suatu malam, tepatnya pada 10 Maret 1966, Bung Karno memanggil Mangil. ’’Mangil, andaikata ada pasukan tank yang datang kemari untuk menangkap atau membunuh Bapak, apakah kamu ada waktu untuk membawa Bapak keluar dari Istana. Mangil, Bapak ini tua-tua begini masih kuat jalan kaki kalau kamu menghendaki Bapak keluar dari Istana dengan jalan kaki,’’ kata Bung Karno.
Mangil menjawab bisa. Mendengar jawaban ini, Bung Karno tampak lega. Waktu itu putra-putri Bung Karno tengah tidur di kamar masing-masing di Istana Merdeka. Karena alasan keamanan, malam itu juga Bung Karno dibawa ke Istana Bogor. Rombongan Bung Karno melewati rute jalan-jalan kampung. Waktu itu, jalannya bukan aspal, tetapi tanah. Selain tidak beraspal, jalan ini juga kecil, tidak rata, banyak comberan, dan gelap sekali. Cahaya hanya berasal dari lampu mobil yang dikendarai Bung Karno dan rombongan.
Pagi-pagi sekali, rombongan Bung Karno ini tiba dengan selamat di Istana Bogor. Sebelas Maret 1966, pagi hari. Bung Karno sudah berangkat dari Istana Bogor menuju Istana Merdeka Jakarta karena ada laporan situasi telah memungkinkan bagi Bung Karno untuk kembali ke Jakarta. Diputuskan Bung Karno ke Jakarta dengan helikopter. Dalam helikopter yang ditumpangi Bung Karno ini, tampak ajudan senior presiden yang juga Komandan Resimen Cakrabirawa Brigjen Sabur, Komandan Datasemen Kawal Pribadi Mangil, dan Pilot Kolonel Penerbang Kardjono. Yang terakhir ini juga ajudan presiden dari unsur AURI (sekarang TNI AU).
Tak lama kemudian, rombongan dari Bogor ini mendarat di depan Istana Merdeka. Bung Karno langsung menuju salah satu ruang di Istana Negara dan memimpin sidang kabinet. Ketika rapat tengah berlangsung, ada informasi bahwa banyak tentara liar di lapangan sekitar Monas yang letaknya tak begitu jauh dari Istana Merdeka, tempat helikopter kepresidenan diparkir. Mereka tidak memakai tanda kesatuan. Makanya disebut pasukan liar.
Brigjen Sabur, komandan Cakrabirawa, segera memerintah perwira bawahannya, Mayor Sutarjo, untuk mengecek kebenaran informasi yang baru saja diterima. Setelah perwira yang ditugasi kembali dan melapor, memang betul di sekitar Monas ada tentara yang dikatakan liar itu. Dia menyebut tentara ini dari RPKAD. Setelah mendengar laporan ini, Sabur masuk ke Istana Negara untuk berunding dengan Mayjen Amirmachmud yang sedang mengikuti sidang kabinet selaku Pangdam V/Jakarta Raya. Pembicaraan Sabur dengan Amirmachmud memutuskan agar Bung Karno pergi ke Istan Bogor dengan helikopter. Atas saran dua jenderal ini, Bung Karno pun ke Istana Bogor dengan helikopter.
Dari Istana Negara, Bung Karno berjalan kaki menuju Istana Merdeka, selanjutnya ke tempat parkir helikopter yang berada di luar pagar Istana Merdeka, disertai Amirmachmud dan Mangil. Dalam perjalanan, di dekat koepel (sekolah taman kanakkanak Istana Presiden) antara Istana Negara dan Istana Merdeka, Bung Karno bertanya kepada Amirmachmud,’’Mir, ada apa lagi ini?’’ Amirmachmud yang beberapa tahun kemudian menjadi Mendagri ini menjawab, ’’Itu tentara di luar tidak banyak. Paling-paling 50 orang. Bapak pergi saja ke Istana Bogor.’’ Bung Karno, Amirmachmud, dan Mangil terus berjalan menuju tempat helikopter melewati Istana Merdeka.
Setelah Bung Karno, Sabur, dan Mangil naik di dalam helikopter, pilot Kardjono mulai menerbangkan helikopter mengarah ke Bogor. Sementara, Amirmachmud sendiri terus menuju Istana Negara. Sebelum helikopter start, Kardjono oleh Mangil diminta tidak terbang melalui daerah Monas, tetapi ke arah utara dan barat dulu, dalam upaya untuk menyelematkan Bung Karno dari jangkauan jarak tembak tentara liar.
Sewaktu Bung Karno keluar halaman Istana Merdeka, dapat terlihat jelas tentara yang dikatakan liar tersebut. Mereka sangat dekat dengan helikopter kepresidenan yang memang sedang diparkir di depan Istana Merdeka, tepatnya di luar pagar. Melihat tentara liar ini, Bung Karno tampak tenang. Sabur memperkirakan jumlah tentara liar ini cukup banyak. Tak kurang dari satu batalyon. Mangil menulis, fakta ini menujukkan bahwa Bung Karno sama sekali tidak dalam ketakutan ketika meninggalkan istana. Bung Karno tetap tenang meski tentara liar berada dalam jarak yang cukup dekat dengan helikopter kepresidenan. Bahkan, Bung Karno telah masuk dalam jarak tembak. Selama menuju helikopter ini, Mangil selalu berada di depan Bung Karno dengan tujuan sebagai pagar hidup. Siapa tahu ada yang mencoba menembak Bung Karno.
Setelah beberapa lama terbang dengan helikopter, Bung Karno dan rombongan tiba di Istana Bogor. Bung Karno terus menuju kediamannya di paviliun istana. Beberapa saat kemudian, terdengar bunyi helikopter mendarat. Tampak turun dari helikopter Wakil Perdana Menteri (Waperdam) I Soebandrio dan Waperdam III Chaerul Saleh. Keduanya membawa ajudan masing-masing. Keempat orang tersebut langsung menuju paviliun. Tetapi bukan paviliun Bung Karno, melainkan paviliun tempat Mangil dan beberapa anah buahnya berjaga. Tak lama kemudian, tamu-tamu ini oleh Sabur dipersilakan beristirahat.
Tak terasa hari cepat merambat sore. Sekitar pukul 15.00 WIB, terdengar lagi bunyi helikopter mendarat. Dari paviliun tempat Mangil berjaga, terlihat tiga orang turun dari helikopter. Ternyata, mereka adalah Jenderal Basuki Rahmat, Jenderal M. Jusuf, dam Pangdam V/Jaya Jenderal Amirmachmud. Ketiganya terus menuju paviliun Mangil. Oleh Mangil, mereka dipersilakan duduk. Ia lantas menghubungi Sabur. Sesudah berbincang-bincang dengan ketiga jenderal tersebut, Sabur menuju paviliun tempat Bung Karno beristirahat. Beberapa saat kemudian, Sabur datang dan mempersilakan ketiga jenderal tersebut datang ke paviliun Bung Karno.
Sekitar magrib, Sabur dengan tergesa-gesa datang ke paviliun Mangil sambil membawa kertas dan berkata kepada staf ajudan presiden, meminta mesin ketik dan kertas. ’’Gua mau bikin surat perintah, nih…’’ Mangil mengaku tidak memperhatikan apa yang diketik Sabur. Mangil tetap saja duduk di kursi. Sesudah selesai mengetik, dengan langkah terburu-buru Sabur kembali ke paviliun Bung Karno.
Kurang lebih pada pukul 20.00 WIB, Basuki, Jusuf, dan Amirmachmud meninggalkan paviliun Istana Bogor ke Jakarta dengan naik mobil. Setelah itu, tidak ada kegiatan lagi dan tidak ada tamu untuk Bung Karno.
Keesokan harinya, pada 12 Maret 1966, Mangil mendengar siaran radio, soal adanya surat perintah dari Presiden Soekarno kepada Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen Soeharto. Surat ini berisi tiga poin.
Pertama, menjamin keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan revolusi.
Kedua, menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan presiden RI. Terakhir, melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.
Kelak, peristiwa ini dikenal dengan nama surat perintah 11 Maret (Supersemar). Selain bersejarah, peristiwa ini mempunyai sisi lain. Ia adalah kontroversi, sekaligus misteri. Soalnya, sampai awal 1999, surat asli Supersemar ini tak ditemukan. Entah siapa yang memegang surat aslinya. Pemerintah mempunyai dua kopi surat ini. Anehnya, dua kopi surat ini berlainan. Yang pasti, surat ini menandai pergantian kekuasaan dari Bung Karno ke Soeharto.