Tuesday, 16 August 2016

Ayat Al-Qur’an Memercikkan Keharuan dalam Jiwa

Nama saya Lay Fong Fie. Lahir di Kalimantan Barat tanggal 23 Agustus 1960. Bapak saya bernama Lay Siong Lin dan Ibu saya bernama Then Sian Fung. Keduanya keturunan Tiong Hoa.
Tahun 1982 adalah awal perjalanan saya menuju hidayah. Bertepatan dengan ibu saya yang mengalami sakit keras. Segala usaha sudah ditempuh, tapi ia tidak kunjung sembuh. Menurut tetangga saya, Ibu kemasukan setan atau jin. Mereka menyarankan agar keluarga saya pergi ke orang pintar (kyai). Saya pun mencari “orang pintar” untuk mengobati Ibu. Saya mencoba mempertimbangkan saran itu dan saya menemukan seorang kyai bernama Maskur.
Pak Kyai mendekati ibu. Ia membaca doa-doa, entah apa. Saya tidak peduli. Saya hanya ingin Ibu saya sembuh. Saya tidak tahu kekuatan dari mana yang membuat Ibu saya sembuh dari penyakitnya, setelah dibacakan doa-doa oleh kyai tersebut. Saya mencoba bertanya, “Pak, dari mana Bapak dapat doa-doa itu sehingga Ibu saya bisa sembuh ?”. Kyai tadi menjawab, “Dari Al-Qur’an.” Pak kyai juga bilang, Allah-lah yang menyembuhkan ibu.
“Wah, ternyata hebat ya Al-Qur’an itu,” pikir saya saat itu. Ayat-ayat yang dibaca kyai tersebut memercikkan keharuan dalam jiwa saya. Lentera kebenaran tentang keesaan Tuhan menyinari jiwa saya yang nyaris gelap. Seketika itu pula saya tertarik dengan Islam. Seketika itu juga saya minta izin bapak dan ibu saya untuk memeluk Islam. Ternyata bapak dan ibu saya bilang, “terserah”. Tapi, meskipun orangtua tidak begitu mempermasalahkan, justru saudara-saudara saya yang melarang saya masuk Islam.
Termotivasi dengan keingintahuan tentang Al-Qur’an yang begitu manjur, saya memutuskan untuk belajar lebih lanjut tentang Islam dan Al-Qur’an. Saya sering konsultasi dengan kyai yang mengobati Ibu saya itu.
Islam ternyata cepat larut dalam jiwa saya. Tidak ada lagi kebimbangan saya. Islam bukan sekedar agama dalam arti populer, tetapi sebuah muatan yang lebih dan menjiwai setiap perilaku dan cara hidup. Sebuah sistem ilmu ketuhanan yang menjabarkan perilaku perseorangan dan kemasyarakatan yang berdasarkan pada kesadaran.
Tidak ada satu kata pun dalam Al-Qur’an menorehkan paksaan bagi satu kebutuhan “penebusan” seperti yang terjadi pada agama lain. Tidak ada istilah “dosa asal” atau “dosa warisan”. Allah tidak menuntut apa pun dari manusia kecuali amal ibadahnya. Tidak hanya itu, bahasa Arab yang menjadi tulisan Al-Qur’an menjadi sumber kekayaan interpretasi.
Setelah saya yakin bahwa Islam adalah agama terbaik, agama yang bisa menjawab semua tantangan, hari Kamis, Mei 1983, dengan dibimbing Kyai Maskur dan disaksikan oleh Haji Abi Kusno dan K.H. Hasbullah Nur, saya mengucapkan kalimat syahadat. Nama saya pun berganti menjadi Abdul Hadi. Ketenangan batin demikian terasa dibandingkan ketika saya masih menganut agama sebelumnya.
Saat Muktamar NU di Situbondo, saya melihat para santri di televisi rapi memakai peci dan baju koko. Termotivasi dari hal itu, saya rajin menabung dari hasil keuntungan berdagang kayu, profesi saya saat itu, untuk bisa masuk pesantren. Allah menguji keimanan saya. Ternyata bisnis kayu saya gagal. Waktu itu banyak bisnis kayu yang disita dengan alasan ilegal. Bisnis saya ikut disita, meski tercatat dengan resmi. Dari sinilah saya berusaha mencari siapa pejabat yang menyita kayu milik saya. Urusan ini sampai ke Bupati, Imam Maskur. Saya menyampaikan padanya bahwa bisnis kayu saya legal.
Profesi ini saya geluti sebagai upaya untuk bisa masuk pesantren. Mendengar penuturan saya, Bupati mengungkapkan pada saya untuk tidak berdagang kayu. Ia menyisihkan uang kas Kabupaten untuk biaya masuk pesantren. Berbekal rekomendasinya, alhamdulillah saya bisa meraih cita-cita masuk pesantren. Bahkan akhirnya saya bisa kuliah pada Fakultas Syariah IAIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta dengan biaya Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kalimantan.
Skenario Allah begitu indah. Boleh saja, dahulu, saudara-saudara dan teman-teman mengucilkan saya. Tapi, karena saya “ditemani” Allah, kini mereka kian mengakui keislaman saya. Mereka juga mengakui bahwa Islam bisa menjawab semua tantangan hidup. Yang membuat saya senang, sekarang saya sudah tidak sendiri lagi. Tahun 2001, Allah mempertemukan saya dengan seorang Muslimah asal Klaten, Helina Hesti Wulandari. Dialah teman sejati yang mendampingi dan lebih membuat saya senang dan bersyukur. Nabila pun, anak kami, menjadi pelengkap bagi berlangsungnya jalan dakwah yang kini saya jalani.
Alhamdulillah, setelah saya masuk Islam, hidup ini terasa mudah. Ya Allah … jadikanlah keluarga kami keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Berikan jalan terang buat kami, sehingga kami bisa terus berjuang di jalan-Mu. [

No comments:

Post a Comment