Monday, 1 August 2016

LETAK I.B.U.K.O.T.A P.A.K.U.A.N Padjadjaran

Sandi Firmansyah
LETAK I.B.U.K.O.T.A P.A.K.U.A.N
Berita dari Naskah
12105877_10205673692707633_3518942936603575442_nDalam kropak (Tulisan pada rontal atau daun nipah) yang diberi nomor 406 di Museum Pusat terdapat petunjuk yang mengarah kepada lokasi Pakuan.
Kropak 406 sebagian telah diterbitkan khusus dengan nama ” Carita Parahiyangan “.
Dalam bagian yang belum diterbitkan (biasa disebut fragmen K 406) terdapat keterangan mengenai kisah pendirian keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati.
Di dinya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati.
Anggeus ta tuluy diprebolta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah.
Disiar ka hulu Cipakancilan. Katimu Bagawat Sunda Mayajati. Ku Bujangga Sedamanah dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa”.

(Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Setelah selesai (dibangun) lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah. Dicari ke hulu Cipakancilan.Ditemukanlah Bagawat Sunda Majayati. Oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa). Dari sumber kuno itu dapat diketahui bahwa letak keraton tidak akan terlalu jauh dari ” H.U.L.U C.I.P.A.K.A.N.C.I.L.A.N “.
Hulu Cipakancilan terletak dekat lokasi kampung L.A.W.A.N.G G.I.N.T.U.N.G yang sekarang, sebab ke bagian hulu sungai ini disebut C.I.A.W.I.
Dari naskah itu pula kita mengetahui bahwa sejak jaman Pajajaran sungai itu sudah bernam Cipakancilan.
Hanyalah juru pantun kemudian menterjemahkannya menjadi C.I.P.E.U.C.A.N.G. Dalam bahasa Sunda kuno dan Jawa kuno kata “Kancil” memang berarti “Peucang”.
Prasasti Batutulis sudah mulai diteliti sejak tahun 1806 dengan pembuatan ” Cetakan Tangan ” untuk Universitas Leiden (Belanda).
Upaya pembacaan pertama dilakukan oleh Friederich tahun 1853. Sampai tahun 1921 telah ada 4 orang ahli yang meneliti isinya.
Akan tetapi, hanya Cornelis Marinus Pleyte yang mencurahkan pada lokasi Pakuan, yang lain hanya mendalami isi prasasti itu.
Prasasti Batu Tulis di sungai Ciaruten
12088056_10205673695387700_5188418462556969063_n
Hasil penelitian Pleyte dipublikasikan tahun 1911 (penelitiannya sendiri berlangsung tahun 1903).
Dalam tulisan “Het Jaartal op en Batoe-Toelis nabij Buitenzorg”
(Angka tahun pada Batutulis di dekat Bogor),
Pleyte menjelaskan :
” ..Waar alle legenden, zoowel als de meer geloofwaardige historische berichten, het huidige dorpje Batoe-Toelis, als plaats waar eenmal Padjadjaran’s koningsburcht stond, aanwijzen, kwam het er aleen nog op aan. Naar eenige preciseering in deze te trachten ..”
(Dalam hal legenda-legenda dan berita-berita sejarah yang lebih dipercayai menunjuk kampung Batutulis yang sekarang sebagai tempat puri kerajaan Pajajaran, masalah yang timbul tinggalah menelusuri letaknya yang tepat).
Ahmad Y. Samantho di Prasasti Batutulis Ciaruteun Ciampea Bogor, 10 September 2013Sedikit kotradiksi dari Pleyte adalah pertama ia menunjuk kampung Batutulis sebagai lokasi keraton, akan tetapi kemudian ia meluaskan lingkaran lokasinya meliputi seluruh wilayah Kelurahan Batutulis yang sekarang.
Pleyte mengidentikkan puri dengan kota kerajaan dan kadatuan Sri Bima Narayana Madura Suradipati dengan Pakuan sebagai kota.
Babad Pajajaran melukiskan bahwa Pakuan terbagi atas ” D.A.L.E.M K.I.T.H.A ” (Jero kuta) dan ” J.A.W.I K.I.T.H.A ” (Luar kuta).
Pengertian yang tepat adalah ” Kota Dalam ” dan ” Kota Luar “.
Pleyte masih menemukan benteng tanah di daerah Jero Kuta yang membentang ke arah Sukasari pada pertemuan Jl. Siliwangi dengan Jl. Batutulis.
Peneliti lain seperti Ten Dam menduga letak keraton di dekat kampung Lawang Gintung (bekas) Asrama Zeni Angkatan Darat.
Suhamir dan Salmun bahkan menunjuk pada lokasi Istana Bogor yang sekarang.
Namun pendapat Suhamir dan Salmun kurang ditunjang oleh data kepurbakalaan dan sumber sejarah.
Dugaannya hanya didasarkan pada anggapan bahwa ” L.E.U.W.I S.I.P.A.T.A.H.U.N.A.N ” yang termashur dalam lakon-lakon lama itu terletak pada alur Ciliwung dalam Kebun Raya Bogor.
Menurut kisah klasih, “Leuwi” (Lubuk) itu biasa dipakai bermandi-mandi oleh puteri-puteri penghuni istana.
Lalu ditarik logika bahwa letak istana tentu tak jauh dari “Leuwi Sipatahunan” itu.
Pantun Bogor mengarah pada lokasi bekas Asrama Resimen “Cakrabirawa” (Kesatrian) dekat perbatasan kota.
Daerah itu dikatakan bekas Tamansari kerajaan bernama “M.I.L.A K.A.N.C.A.N.A”.
Namun hal ini juga kurang ditunjang sumber sejarah yang lebih tua. Selain itu, lokasinya terlalu berdekatan dengan kuta yang kondisi topografinya merupakan titik paling lemah untuk pertahanan Kota Pakuan.
Kota Pakuan dikelilingi oleh benteng alam berupa tebing-tebing sungai yang terjal di ketiga sisinya.
Hanya bagian tenggara batas kota tersebut berlahan datar.
Pada bagian ini pula ditemukan sisa benteng kota yang paling besar. Penduduk Lawang Gintung yang diwawancara Pleyte menyebut sisa benteng ini “Kuta Maneuh”.
Sebenarnya hampir semua peneliti berpedoman pada laporan Kapiten Winkler (kunjungan ke Batutulis 14 Juni 1690).
Kunci laporan Winkler tidak pad sebuah “hoff” (Istana) yang digunakan untuk situs prasasti, melainkan pada kata ” P.A.S.E.B.A.N ” dengan 7 batang beringin pada lokasi Gang Amil.
Sebelum diperbaiki, Gang Amil ini memang bernuansa kuno dan pada pinggir-pinggirnya banyak ditemukan batu-batu bekas ” B.A.L.A.Y ” yang lama.
Penelitian lanjutan membuktian bahwa benteng Kota Pakuan meliputi daerah Lawang Saketeng yang pernah dipertanyakan Pleyte.
Menurut Coolsma, Lawang Saketeng berarti “Porte Brisee, bewaakte in-en uitgang
(pintu gerbang lipat yang dijaga dalam dan luarnya).
Kampung Lawang Saketeng tidak terletak tepat pada bekas lokasi gerbang.Map of Jl. Lawang Saketeng, Bogor Tengah, Kota Bogor, Jawa Barat 16123
Benteng pada tempat ini terletak pada tepi Kampung Cincaw yang menurun terjal ke ujung lembah Cipakancilan, kemudian bersambung dengan tebing Gang Beton di sebelah Bioskop “Rangga Gading”.
Setelah menyilang Jl. Suryakencana, membelok ke tenggara sejajar dengan jalan tersebut.
Deretan pertokoan antara Jl. Suryakencana dengan Jl. Roda di bagian in sampai ke Gardu Tinggi, sebenarnya didirikan pada bekas pondasi benteng.
Selanjutnya benteng tersebut mengikuti puncak lembah Ciliwung.
Deretan kios dekat simpangan Jl. Siliwangi – Jl. Batutulis juga didirikan pada bekas fondasi benteng.
Di bagian ini benteng tersebut bertemu dengan benteng Kota Dalam yang membentang sampai ke Jero Kuta Wetan dan Dereded.
Benteng luar berlanjut sepanjang puncak lereng Ciliwung melewati kompleks perkantoran PAM, lalu menyiang Jl. Raya Pajajaran, pada perbatasan kota, membelok lurus ke barat daya menembus Jl. Siliwangi (di sini dahulu terdapat gerbang), terus memanjang sampai Kampung Lawang Gintung.
Di Kampung Lawang Gintung, benteng ini bersambung dengan “benteng alam” yaitu puncak tebing Cipaku yang curam sampai di lokasi Stasiun Kereta Api Batutulis.
Dari sini, batas Kota Pakuan membentang sepanjang jalur rel kereta api sampai di tebing Cipakancilan setelah melewati lokasi Jembatan Bondongan.598836_419161118106934_898957350_n
Tebing Cipakancilan memisahkan “ujung benteng” dengan “benteng” pada tebing Kampung Cincaw.
Foto Sandi Firmansyah.
Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment